Sejarah KOTA PANGKALAN BUN
Sejarah Pangkalan Bun
Awal Mula Pemukiman di Kotawaringin Barat
Permukiman awal di Kalimantan Tengah tidak bisa dilepaskan dari daerah aliran sungai. Di Kabupaten Kotawaringin Borrata terdapat empat sungai besar yakni Sungai Jelai, Sungai Arut, Sungai Lamandau, Sungai Kumai, dan puluhan anak sungai. Permukiman penduduk sejak berabad–abad yang lalu tumbuh di sepanjang sungai ini. Sungai ini selain menjadi tempat mencari ikan untuk kebutuhan makanan sehari-hari, juga tempat mandi dan transportasi.
Penduduk asli yang tinggal di daerah ini adalah suku Dayak yang berindukkan Dayak Ngaju. Kedekatan suku dayak dengan sungai mengakibatkan mereka mengidentitaskan dirinya, atau masyarakatnya dengan nama sungai (Usop et al, 1995: I-6). Di Daerah Kotawaringin Borrata, sebelum berdirinya kerajaan Kotawaringin bermukim beberapa suku Dayak yakni (Nahan 1993):
1. Suku Dayak Arut: dibawah pimpinan Patih Patinggi Diumpang, berkedudukan di desa Pandau.
2. Suku Dayak Darat: dibawah pimpinan Demung Tujuh bersaudara yakni Demung Rayan, Demung Ajaran, Demung Cingka, Demung Guru, Demung Antah Gantung, Demung Semadi Jaya dan Demung Akar. Mereka mengirimkan upeti kepada kerajaan Majapahit, pakaian adat (ikat kepala) berwarna merah putih. Menurut legenda, tujuh demung tadi berasal dari tujuh gumpalan darah yang dilahirkan oleh Ratu Aji. Minyan Ronyai, istri Jambang Rawok yang datang dari Laut menggunakan perahu dan kemudian berdiam di atas bukit liarunting. Di Bukit inilah sang istri melahirkan tujuh gumpalan darah yang menjelma menjadi Demung Tujuh bersaudara yang merupakan cikal bakal suku Dayak Darat.
3. Suku Dayak Delang, Belantikan dan Batang Kawa: turunan Patih Sebatang dari pulau Sumatera dibawah pimpinan Jajar Malahui yang bergelar Patih Jayangpati, berkedudukan di desa Kudangan. Mengirimkan upeti kepada kerajaan Banjar sampai raja ketiga Sultan Mustainubillah.
4. Selain itu juga terdapat Dayak Jelai yang berdialek Jelai dan termasuk kelompok Dayak Ketungan. Mereka berdiam di daerah Jelai dan Kotawaringin Lama.
5. Dari keluarga dayak Ketungan ini, juga terdapat Dayak Bulik yang bertempat tinggal di daerah Sungai Bulik, di utara Kotawaringin Lama.
Menurut Ch.F.H. Dumont dahulu orang Dayak mendiami seluruh wilayah pulau baik daerah pantai maupun darat. Kedatangan orang Melayu, dari Sumatera dan Malaka mendesak orang Dayak yang bermukim di Pantai, mundur ke sebelah darat pulau Kalimantan. Selain orang Melayu, juga berdatangan orang Bugis dan Jawa mendiami pantai Timur dan Pantai Borrata pulau Kalimantan. Di Kalimantan sebelah Borrata berdatangan pula orang Tion¬ghoa yang bekerja untuk pertambangan (Dumont, 1924).
Pada umumnya orang-orang Dayak memeluk agama Kaharingan atau Kristen. Sedang orang Dayak yang telah memeluk agama Islam menyebut dirinya Melayu. Di daerah Kotawaringin Borrata, orang melayu banyak yang bercampur dengan suku dayak dan menumbuhkan satu kebudayaan yang sangat unik baik dari arsitektur Bangunan maupun kehidupan sehari-hari.
Selain penduduk Melayu, beberapa ahli berpendapat bahwa sebagian penduduk sepanjang pantai laut Kalimantan, termasuk Kotawaringin Borrata adalah campuran antara penduduk asli (Dayak) dengan pendatang antara lain dengan orang Tionghoa yang datang sebagai pedagang atau pekerja. Orang-orang Tionghoa ini banyak kita jumpai di kota-kota seperti Pangkalan Bun, Sukamara, bahkan di kota sekecil Nanga Bulik. Selain itu, juga terjadi percampuran antara orang Dayak dengan orang India yang beragama Hindu.
Pembagian bangsa-bangsa Melayu di Kalimantan sukar kita jelaskan, karena perka¬taan suku Melayu digunakan hanya dalam pengertian perbedaan agama, tidak dalam pengertian asal usul suku/bangsa. Meskipun memang banyak juga bangsa Melayu sejati, yang berasal dari Riau dan Tanah Semenanjung Malaka. Mallincordt menerangkan bahwa bangsa Me¬layu di sekitar Pesisir ialah sebagian turunan dari penduduk Jawa pada masa Majapahit. Jajahan semacam itu memang banyak terdapat di Pe¬sisir. Dan penduduk ini bisa datang dari Bangawan di sungai Sedulun dan Melayu Tarakan (Mallincordt, 1928: 48).
Barulah kira-kira tahun 1960 an sejak semaraknya pergerakan sebutan "Kalimantan" sebagai pengganti "Borneo" dahulu, tumbuhlah perkembangan baru dan lahir suatu sebutan terhadap penduduk asal Banjarmasin -- Hulu Sungai dengan nama "orang Banjar". Sejarah mereka merupakan suatu persekutuan hidup dengan pembawaan hidupnya sen¬diri (groepgemeenschap), mungkin dinobatkan pada nama pintu gerbang Kalimantan Selatan selama beberapa zaman, yaitu Banjarmasin (Riwut, 1993:194). Di Kotawaringin Borrata Suku Banjar bermukim di sekitar Sukamara. Mereka adalah para pedagang yang tangguh yang datang dari Suma¬tera dan pulau-pulau Melayu lainnya. Menurut penelitian etnologi mereka banyak bercampur dengan Bugis dan Makassar.
Kumpulan berbagai suku ini memakai bahasa sehari-hari campuran dan banyak yang memakai bahasa Banjar. Bahasa Banjar kuno, pada masa Kesultanan banyak mirip dengan bahasa Jawa kuno. Perbedaan bahasa Banjar. adalah berbeda dialek sedikit-sedikit menurut tempat tinggal, yang semuanya hampir bersamaan dengan dialek kelurahan dan kerajaan Banjar dahulu. Bahasa resmi Istana Kerajaan Banjar dahulu adalah bahasa Banjar, seperti yang dipakai dalam Undang-undang Sultan Adam. Suku Banjar mempunyai bermacam-macam hak dan kewajiban di bawah pimpinan Sultan. Mereka berpengaruh sekali dalam perdagangan, pendidikan dan pe¬nyebaran agama Islam, seperti di Jawa (Surabaya, Semarang, Cirebon, Bandung, Jakarta), Tambilahan (Sumatera), Kalimantan Uta¬ra, bahkan di Semenanjung Malaka (Riwut, 1993: 193).
Keturunan Sultan Banjarmasin kemudian banyak yang bekerja di pemerintah, berdagang atau partikulir antara lain Ir. Pangeran Gt. Mo¬hammad Noor menjadi Gubernur Kalimantan yang pertama. Dalam rangka membebaskan Kalimantan dari Belanda beliau membentuk pasukan yang terkenal dengan nama Pasukan MN 1001 yang bertugas merebut Kalimantan dari tangan Belanda. MN 1001 arti¬nya M(ohammad) N(oor) 1001 (dengan seribu satu macam usaha untuk merebut Kalimantan dari tangan Belanda). Di samping itu ada beberapa tokoh lain di Kalimantan keturunan Sultan Banjar seperti Mr. Gt. Major, Gt. Mohammad Tahrie, Pangeran Musa Ardikesuma, Gt. Mastur, Gt. Haridji Kesuma dan lain-lain.
Pengelompokan suku-suku Banjar antara lain (1) Banjar Kota tinggal di Banjar¬masin, (2) Martapura di Martapura, (3) Kandangan di Kandangan, (4) Negara di Negara. (5) Alabio di Alabio, (6) Pamangkih di Pamangkih, (7) Amuntai di Amuntai, (8) Angkinang di Angkinang, (9) Barabai di Barabai, (10) Tanjung di Tanjung, (11) Margasari di Margasari, (12) Batang Atai di Batang Atai, dan (13) Kelua di Kelua (Riwut, 1993: 195).
Kerajaan Kotawaringin Yang Pertama
Sejarah Kotawaringin Barat dimulai dengan masuknya pengaruh kerajaan Hindu Majapahit di tahun 1365 dengan mengangkat kepala-kepala suku menjadi menteri kerajaan (Riwut, 1993: 55). Ini dibuktikan dengan disebutnya daerah Kotawaringin dalam pupuh XIII buku nagara kertagama karya Mpu Prapanca. Nama Kotawaringin berasal dari nama pohon beringin yang banyak tumbuh di daerah ini, dengan akarnya yang panjang dan dedaunan yang lebat (Yusuf dan Kassu, 1989: 48). Soal nama ini di pertegas oleh peninggalan-peninggalan yang ditemukan, misalnya sepasang meriam di dekat istana kraton kerajaan Kotawaringin di Pangkalan Bun, nama kerajaan ini adalah Kota Ringin. Untuk memudahkan analisa sejarah kami tetap menggunakan nama Kotawaringin seperti nama kabupaten yang sekarang.
Tentang tahun berdirinya kerajaan Kotawaringin terdapat dua pendapat yang berbeda. Pendapat pertama mengatakan bahwa kerajaan ini baru dibangun oleh Pangeran adipati Anta Kesuma, putra raja Banjar Sultan Musta’inubillah (1650-1678), yang pergi kearah Barat 1679 (Nahan (c), mengutip Saifudin Zuhri: 401 dan Riwut 1993: 55). Kerajaan Islam Kotawaringin ini meliputi Sampit, Mendawai, dan Pembuang. Daerah lain di sekitarnya masih dibawah pimpinan kepala-kepala suku Dayak (Riwut, 1993: 55).5) Pendapat ini banyak didasari oleh tulisan Sanusi dan Lontaan yang tidak mencantumkan angka tahun pemerintahan raja-raja Kotawaringin dengan jelas (Lontaan dan Sanusi 1976). Sedang buku yang lebih baru Memori Hari Pahlawan ke 43 10 November 1988 di Pangkalan Bun angka tahunnya bercampur antara tahun masehi dan tahun Hijriah, dan keduanya tidak sesuai. Misalnya saja masa pemerintahan Sultan I disebutkan 1680 – 1687 M. Sedang sultan II disebut 920 – 941 H, bukankah 920 H itu adalah tahun 1499 M? Jadi sebelum Sultan I (Yusuf dan Kassu, 1989). Pendapat kedua, yang bersumber dari catatan yang ada di astana Alnursari di Kotawaringin Lama, mengatakan bahwa kerajaan ini di bangun tahun 1615.
Terlepas dari perbedaan angka tahun ini, di tengah masyarakat ada cerita legenda akan nama-nama tempat di Kalimantan Tengah sebagai penamaan yang berasal dari pangeran Adipati Anta kesuma. Misalnya:nama Sampit, muncul karena pada waktu sang Pangeran menelusuri sungai mentaya tiba-tiba menemui tempat yang sempit sehingga diberi nama Sampit. Karena tempat yang sempit ini membuat perasaan tidak enak (disebut Sanusi sebagai perasaan mereka menjadi sempit), rombongan pangeran ini berbalik ke laut lagi. Setelah menelurusi pantai mereka menemukan lagi sebuah perkampungan di muara sebuah sungai yang membentuk teluk. Pangeran dan rombongan ingin bergabung dengan penduduk perkampungan ini. Sayang mereka ditolak dan meneruskan perjalanan dengan perahu ke hulu dengan menelusuri sungai Seruyan. Karena merasa di tolak atau dibuang itulah tempat ini diberi nama pembuang (Sanusi dan Lontaan 197: 13).
Setelah sampai di desa Rantau Pulut, keadaan sungai menjadi semakin sempit dan dangkal sehingga tidak mungkin di lewati perahu. Rombongan memutuskan jalan darat. melewati desa Sambi menyeberangi anak sungai Arut sampai di desa Pandau dan bertemu dengan suku Dayak Arut yang dipimpin Patih Patinggi Diumpang. Kedua kelompok kemudian mengadakan permufakatan untuk menjalin hubungan yang baik. Menurut legenda, dalam permufakatan tadi dilakukan upacara yang meminta tumbal masing-masing kelompok satu orang untuk di bunuh dan di atas kuburan dua orang tumbal ini diletakkan sebuah batu peringatan yang disebut Ratu Petahan. Selanjutnya Pangeran Adipati Antakesuma menganugerahi pusakanya untuk suku Dayak Arut berupa Serompang Bakurung, Batung Batulis, Waluh Banjar dan Sangkuh Canggah.Pangeran Adipati Antakesuma beserta pengikutnva beristirahat beberapa hari, sesudah itu dengan diantar Patih Patinggi Diumpang mereka menghiliri sungai Arut. Setelah sampai di pertemuan sungai Arut dan sungai Lamandau, mereka belok ke kanan dan memudiki sungai Lamandau. Disatu tempat mereka mendarat dan mendirikan keraton yang dinamai Kutaringin yang kemudian diucapkan sebagai Kotawaringin.
Keraton kerajaan Islam Kotawaringin ini terletak di tepi sungai Lamandau ini dibangun dengan konstruksi kayu semuanya. Karena kondisi tanah yang lembab serta kayu yang semakin lama semakin lapuk, tidak dapat ditemukan situs-situsnya. Pangeran Adipati Anta kesuma sebagai Sultan pertama membangun istana yang diberi nama Dalem Luhur atau Istana Luhur. Di dalam membangun istana dan kerajaan Kotawaringin ini sultan dibantu oleh seorang alim ulama yang bernama Kyai Gede. Kyai Gede adalah seorang Muslim yang menurut ceritanya, berbarengan dengan pembangunan Kotawaringin terjadilah satu kehebohan di hulu sungai Lamandau dengan diketemukannya sesosok tubuh hanyut sekarat terikat pada sebatang pisang. Tubuh tadi ditemukan oleh para wanita yang menimba air dinihari. Mereka memberitahukan kepada kepala sukunya, suku Dayak Lamandau. Kepala suku dengan pahlawan pahlawan perangnya segera menuju tempat dimana sesosok tubuh hanyut sekarat itu. Tatkala diteliti untuk diketahui identitasnya, tubuh yang sekarat tadi kelihatan menyeramkan dan nenakutkan. Sekali menengoknya, seram menakutkan rupanya. Ham¬pir saja kepala suku melayangkan mandaunya keleher orang hanyut itu. Untunglah ia masih sempat mengeluh minta tolong, mohon diselamatkan, walaupun dalam suasana yang hampir mati. Kepala suku tidak jadi membunuh malah bersama rakyatnya mengusung orang tadi ke rumah. Setelah dirawat dan orang tadi siuman kepala suku memberinya seorang pembantu. Sejak saat itulah terjadi persahatan antara kepala suku dan orang yang baru ditemukan tadi yang ternyata Kyai dari Jawa. Kiai ini memanggil suku Dayak Lamandau mamak dan Daya Lamandau menjulukinya naga/niaga. Ia diberi ruang bergerak yang bebas dalam kam¬pung suku Dayak. Karena ia seorang beragama Islam, mengerti tata tertib dan sopan santun, maka ia menjadi perhatian suku Dayak. Rakyat sangat tertarik dengan tutur kata yang menyegarkan rasa. Karena kepribadiannya yang baik itulah rakyat menamainya Kyai Gede (Lontaan dan sanusi, 1976: 17).
Kerajaan Kotawaringin berdiri lebih dari tiga abad dengan mengalami satu kali perpindahan dari Kotawaringin Lama ke Sukabumi yang kemudian di namai Pangkalan Bu’un. Pangeran Adipati Antakesuma bin Sultan Mustainubillah, adalah sultan Kotawaringin ke I dengan gelar Ratu Bagawan Kotawaringin. Memerintah dari tahun 1615 - 1630 M dengan Mangkubumi Kyai Gede. Pada hari tuanya Sultan pulang ke Bandarmasih (sekarang Banjarmasin, ibukota propinsi Kalimantan Selatan). Beliau wafat disana dan dimakamkan di desa Kuin Utara. Perihal wafatnya pangeran Adipati Antakesuma ini tidak ada catatan yang pasti. Selain wafat karena usia yang tua seperti dituturkan diatas, ada pendapat bahwa sebenarnya sang Pangeran pergi ke Banjarmasin atas panggilan Kakaknya sang sultan Banjar untuk membantu peprangan melawan kerajaan Pasir. Pangeran Adipati Antakesuma gugur di dalam peperangan ini (Nahan AF (c) ).
Di masa pemerintahan sultan pertama inilah disusun undang-undang kerajaan Kotawaringin yakni Kitab Kanun Kuntara. Selain membangun Istana Luhur sebagai keraton kerajaan Kotawaringin, Sang pangeran juga membangun Perpatih (rumah patih) Gadong Bundar Nurhayati dan Perdipati (panglima perang) Gadong Asam. Selain itu untuk keperluan perang dibangun pula Pa'agungan, sebagai tempat menyimpan senjata atau pusaka, membangun surau untuk keperluan ibadat, dan membangun sebuah paseban sebagai tempat para bawahan dan rakyat menghadap sultan. Setelah wafat Pangeran Adipati Anta kesuma digantikan oleh putranya Pangeran Mas Dipati sebagai sultan Kotawaringin ke II dengan mangkubumi Kyai Gede dan kemudian diganti oleh dipati Ganding. Memerintah dari tahun 1630 - 1655 M. Pada saat wafat sultan kedua ini dimakamkan di Kotawaringin.
Sebagai pengganti, diangkatlah Pangeran Panembahan Anum bin Fangeran Mas Dipati, sebagai raja Kotawaringin ke III dengan mangkubumi Dipati Ganding. Memerintah dari tahun 1655 - 1682 M, berputera dua orang laki-laki dan wafat serta dimakamkan di Kotawaringin
Dengan wafatnya pangeran Panembahan Anum, diangkatlah putranya Pangeran Prabu sebagai sultan Kotawaringin ke 1V dengan mangkubumi Pangeran Dira. Pangeran Prabu memerintah dari tahun 1682 sampai dengan tahun 1699 M, berputera tiga orang dan wafat serta dimakamkan di Kotawaringin.
Pangeran Dipati Tuha bin Pangeran Prabu, diangkat sebagai raja Kotawaringin ke V dengan Mangkubumi pangeran Cakra. Sultan ke lima ini memerintah dari tahun 1699 sampai dengan tahun 1711 M, berputera tiga orang. Seperti para pendahulunya, setelah wafat sultan dikuburkan di Kotawaringin.
Sebagai pengganti sultan ke V diangkatlah putranya Pangeran Penghulu bin Pangeran Dipati Tuha sebagai raja Kotawaringin ke VI dengan Mangkubumi Pangeran Anum. Memerintah dari tahun 1711 - 1727 M, berputera tujuh orang dan wafat serta dimakamkan di Kotawaringin.
Pangeran Ratu Bagawan bin Pangeran Penghulu diangkat sebagai raja Kotawaringin ke VII dengan Mangkuhuai Pangeran Paku Negara. Memerintah dari tahun 1727 - 1761 M, berputera tujuh orang . Setelah wafat dimakamkan di Kotawaringin. Di masa pemerintahannya dilaksanakan pembangunan mesjid jami Kotawaringin, karena surau yang dibangun masa Pangeran Adipati Antakesuma sudah rusak.
Pada pemerintahan Ratu Begawan sultan ke VII kerajaan Kotawaringin mengalami jaman keemasan. Pada masa ini pertanian dan hasil bumi melimpah ruah dan di ekspor keluar daerah. Perdagangan hasil-hasil kerajinan produksi Kotawaringin menjadi terkenal dan sangat laku di pasaran regional. Karena kemajuan ekonomi ini rupanya juga memacu perkawinan antar suku dan banyak pendatang baru yang menetap di Kotawaringin (Yusuf dan Kassu, 1989: 49-50). Sistem organisasi pemerintahanpun telah maju dengan membagi tugas kepada para menteri berdasarkan wilayahnya. Dalam pembagian ini setiap kota dikepalai oleh seorang menteri seperti misalnya menteri Kumai, menteri Pangkalan Bu’un, menteri Jelai, dan seterusnya.
Ironisnya, pada jaman keemasan itu, juga terjadi peristiwa yang menyedihkan yakni diserahkannya kerajaan Kotawaringin kepada pihak belanda oleh kerajaan Banjar. Pada saat itulah pertanggung jawaban pemerintahan harus dilakukan kepada kontrolir Belanda di Sampit. Walaupun demikian Belanda tetap tidak mengangkat seorang kontrolir langsung di Kotawaringin.
Pangeran Ratu begawan yang wafat tahun 1761, digantikan oleh putranya Pangeran Ratu Anum Kesumayuda (Gusti Musaddam bin Pangeran Ratu Bagawan) sebagai raja Kotawaringin ke VIII dengan Mangkubuai Pangeran Tapa Sana. Memerintah dari tahun 1767 - 1805 M; berputera 16 orang. Setelah wafat dimakamkan di Kotawaringin. Di masa pemerintahannya dilaksanakan pembangunan pesantren di danau Gatal Kanan dan danau Gatal Kiri (desa Rungun sekarang), tempat mendidik putera-puteri kerajaan.
Perlu dicatat disini sebagai bagian dari kerajaan Banjar, sultan-sultan Kotawaringin selalu memakai gelar pangeran. Ini menunjukkan kesantunan terhadap kerajaan Banjar yang lebih tua yang mana gelar rajanya sultan. Memang kemudian didalam lingkungan Kotawaringin para pangeran yang menjadi raja juga disebut dengan Sultan, tetapi itu hanya untuk lingkungan di Kotawaringin, jika mereka ke Banjar, mereka disebut dengan gelar Pangeran.
Sebagai satu kompleks kerajaan di tempat ini terdapat beberapa bangunan antara lain Astana Alnursari, Mesjid Jami Kotawaringin, pekuburan keluarga raja. Di jaman orde Baru mesjid ini dipugar Ditjen Kebudayaan Depdikbud. Selain dalam restorasi ini mengembalikan beberapa bagian ke dalam bentuknya yang semula, juga penambahan baru seperti penggantian pucak mesjid yang semula berbentuk kubah, penyatuan mihrab dalam satu atap, pembuatan tempat wudhu yang terpisah serta pembuatan turap tebing pencegah erosi (Nahan, 1995: 60).
Peninggalan istana yang masih utuh adalah Astana Alnursari sebagai satu peninggalan kerajaan Kotawaringin, sekarang dilindungi oleh pemerintah. Keadaan bangunannya juga masih bagus. Banyak orang yang mengira bahwa istana ini merupakan bekas tempat tinggal raja-raja Kotawaringin, tetapi sebenarnya istana ini dibangun setelah kerajaan Kotawaringin dipindah ke Pangkalan Bun.
Kerajaan Kotawaringin yang di bangun di awal abad ke 17 telah memacu pertumbuhan permukiman lain di sepanjang sungai yang berdekatan. Kenyataan bahwa sudah ada para pemukim di pembuang menunjukkan bahwa kerajaan Kotawaringin bukanlah permukiman pertama di daerah Kotawaringin Barat. Kemungkinan permukiman awal telah muncul di berbagai kota seperti Pangkalan Bun – yang sebelumnya bernama Sukabumi), Kumai, Sukamara sebagai satu ekonomi domain permukiman embryo. Sedang di Kotawaringin Lama barangkali juga sudah ada beberapa pemukim sebelum keraton Kotawaringin di bangun. Ini menunjukkan bahwa Di Kabupaten Kotawaringin Barat permukiman dipacu oleh pertumbuhan satu domain ekonomi dan bukannya domain politik yang membentuk kota-kota agraris seperti di Jawa. Permukiman ini memakai sungai sebagai alat transportasi dan elemen primer kota. Perkembangan permukiman di tepi sungai ini masih terlihat sekarang di kota-kota yang penduduknya semakin padat. Kepadatan tadi selalu berada di pinggir sungai dan sangat sulit untuk di pindahkan ke darat.
0 komentar:
Posting Komentar