Sejarah Pangkalan Bun
Awal Mula Pemukiman di Kotawaringin Barat
Permukiman
awal di Kalimantan Tengah tidak bisa dilepaskan dari daerah aliran
sungai. Di Kabupaten Kotawaringin Borrata terdapat empat sungai besar
yakni Sungai Jelai, Sungai Arut, Sungai Lamandau, Sungai Kumai, dan
puluhan anak sungai. Permukiman penduduk sejak berabad–abad yang lalu
tumbuh di sepanjang sungai ini. Sungai ini selain menjadi tempat mencari
ikan untuk kebutuhan makanan sehari-hari, juga tempat mandi dan
transportasi.
Penduduk asli yang tinggal di daerah ini adalah
suku Dayak yang berindukkan Dayak Ngaju. Kedekatan suku dayak dengan
sungai mengakibatkan mereka mengidentitaskan dirinya, atau masyarakatnya
dengan nama sungai (Usop et al, 1995: I-6). Di Daerah Kotawaringin
Borrata, sebelum berdirinya kerajaan Kotawaringin bermukim beberapa suku
Dayak yakni (Nahan 1993):
1. Suku Dayak Arut: dibawah pimpinan Patih Patinggi Diumpang, berkedudukan di desa Pandau.
2.
Suku Dayak Darat: dibawah pimpinan Demung Tujuh bersaudara yakni Demung
Rayan, Demung Ajaran, Demung Cingka, Demung Guru, Demung Antah Gantung,
Demung Semadi Jaya dan Demung Akar. Mereka mengirimkan upeti kepada
kerajaan Majapahit, pakaian adat (ikat kepala) berwarna merah putih.
Menurut legenda, tujuh demung tadi berasal dari tujuh gumpalan darah
yang dilahirkan oleh Ratu Aji. Minyan Ronyai, istri Jambang Rawok yang
datang dari Laut menggunakan perahu dan kemudian berdiam di atas bukit
liarunting. Di Bukit inilah sang istri melahirkan tujuh gumpalan darah
yang menjelma menjadi Demung Tujuh bersaudara yang merupakan cikal bakal
suku Dayak Darat.
3. Suku Dayak Delang, Belantikan dan Batang Kawa:
turunan Patih Sebatang dari pulau Sumatera dibawah pimpinan Jajar
Malahui yang bergelar Patih Jayangpati, berkedudukan di desa Kudangan.
Mengirimkan upeti kepada kerajaan Banjar sampai raja ketiga Sultan
Mustainubillah.
4. Selain itu juga terdapat Dayak Jelai yang
berdialek Jelai dan termasuk kelompok Dayak Ketungan. Mereka berdiam di
daerah Jelai dan Kotawaringin Lama.
5. Dari keluarga dayak Ketungan
ini, juga terdapat Dayak Bulik yang bertempat tinggal di daerah Sungai
Bulik, di utara Kotawaringin Lama.
Menurut Ch.F.H. Dumont dahulu
orang Dayak mendiami seluruh wilayah pulau baik daerah pantai maupun
darat. Kedatangan orang Melayu, dari Sumatera dan Malaka mendesak orang
Dayak yang bermukim di Pantai, mundur ke sebelah darat pulau Kalimantan.
Selain orang Melayu, juga berdatangan orang Bugis dan Jawa mendiami
pantai Timur dan Pantai Borrata pulau Kalimantan. Di Kalimantan sebelah
Borrata berdatangan pula orang Tion¬ghoa yang bekerja untuk
pertambangan (Dumont, 1924).
Pada umumnya orang-orang Dayak
memeluk agama Kaharingan atau Kristen. Sedang orang Dayak yang telah
memeluk agama Islam menyebut dirinya Melayu. Di daerah Kotawaringin
Borrata, orang melayu banyak yang bercampur dengan suku dayak dan
menumbuhkan satu kebudayaan yang sangat unik baik dari arsitektur
Bangunan maupun kehidupan sehari-hari.
Selain penduduk Melayu,
beberapa ahli berpendapat bahwa sebagian penduduk sepanjang pantai laut
Kalimantan, termasuk Kotawaringin Borrata adalah campuran antara
penduduk asli (Dayak) dengan pendatang antara lain dengan orang Tionghoa
yang datang sebagai pedagang atau pekerja. Orang-orang Tionghoa ini
banyak kita jumpai di kota-kota seperti Pangkalan Bun, Sukamara, bahkan
di kota sekecil Nanga Bulik. Selain itu, juga terjadi percampuran antara
orang Dayak dengan orang India yang beragama Hindu.
Pembagian
bangsa-bangsa Melayu di Kalimantan sukar kita jelaskan, karena
perka¬taan suku Melayu digunakan hanya dalam pengertian perbedaan agama,
tidak dalam pengertian asal usul suku/bangsa. Meskipun memang banyak
juga bangsa Melayu sejati, yang berasal dari Riau dan Tanah Semenanjung
Malaka. Mallincordt menerangkan bahwa bangsa Me¬layu di sekitar Pesisir
ialah sebagian turunan dari penduduk Jawa pada masa Majapahit. Jajahan
semacam itu memang banyak terdapat di Pe¬sisir. Dan penduduk ini bisa
datang dari Bangawan di sungai Sedulun dan Melayu Tarakan (Mallincordt,
1928: 48).
Barulah kira-kira tahun 1960 an sejak semaraknya
pergerakan sebutan "Kalimantan" sebagai pengganti "Borneo" dahulu,
tumbuhlah perkembangan baru dan lahir suatu sebutan terhadap penduduk
asal Banjarmasin -- Hulu Sungai dengan nama "orang Banjar". Sejarah
mereka merupakan suatu persekutuan hidup dengan pembawaan hidupnya
sen¬diri (groepgemeenschap), mungkin dinobatkan pada nama pintu gerbang
Kalimantan Selatan selama beberapa zaman, yaitu Banjarmasin (Riwut,
1993:194). Di Kotawaringin Borrata Suku Banjar bermukim di sekitar
Sukamara. Mereka adalah para pedagang yang tangguh yang datang dari
Suma¬tera dan pulau-pulau Melayu lainnya. Menurut penelitian etnologi
mereka banyak bercampur dengan Bugis dan Makassar.
Kumpulan
berbagai suku ini memakai bahasa sehari-hari campuran dan banyak yang
memakai bahasa Banjar. Bahasa Banjar kuno, pada masa Kesultanan banyak
mirip dengan bahasa Jawa kuno. Perbedaan bahasa Banjar. adalah berbeda
dialek sedikit-sedikit menurut tempat tinggal, yang semuanya hampir
bersamaan dengan dialek kelurahan dan kerajaan Banjar dahulu. Bahasa
resmi Istana Kerajaan Banjar dahulu adalah bahasa Banjar, seperti yang
dipakai dalam Undang-undang Sultan Adam. Suku Banjar mempunyai
bermacam-macam hak dan kewajiban di bawah pimpinan Sultan. Mereka
berpengaruh sekali dalam perdagangan, pendidikan dan pe¬nyebaran agama
Islam, seperti di Jawa (Surabaya, Semarang, Cirebon, Bandung, Jakarta),
Tambilahan (Sumatera), Kalimantan Uta¬ra, bahkan di Semenanjung Malaka
(Riwut, 1993: 193).
Keturunan Sultan Banjarmasin kemudian banyak
yang bekerja di pemerintah, berdagang atau partikulir antara lain Ir.
Pangeran Gt. Mo¬hammad Noor menjadi Gubernur Kalimantan yang pertama.
Dalam rangka membebaskan Kalimantan dari Belanda beliau membentuk
pasukan yang terkenal dengan nama Pasukan MN 1001 yang bertugas merebut
Kalimantan dari tangan Belanda. MN 1001 arti¬nya M(ohammad) N(oor) 1001
(dengan seribu satu macam usaha untuk merebut Kalimantan dari tangan
Belanda). Di samping itu ada beberapa tokoh lain di Kalimantan keturunan
Sultan Banjar seperti Mr. Gt. Major, Gt. Mohammad Tahrie, Pangeran Musa
Ardikesuma, Gt. Mastur, Gt. Haridji Kesuma dan lain-lain.
Pengelompokan
suku-suku Banjar antara lain (1) Banjar Kota tinggal di Banjar¬masin,
(2) Martapura di Martapura, (3) Kandangan di Kandangan, (4) Negara di
Negara. (5) Alabio di Alabio, (6) Pamangkih di Pamangkih, (7) Amuntai di
Amuntai, (8) Angkinang di Angkinang, (9) Barabai di Barabai, (10)
Tanjung di Tanjung, (11) Margasari di Margasari, (12) Batang Atai di
Batang Atai, dan (13) Kelua di Kelua (Riwut, 1993: 195).
Kerajaan Kotawaringin Yang Pertama
Sejarah
Kotawaringin Barat dimulai dengan masuknya pengaruh kerajaan Hindu
Majapahit di tahun 1365 dengan mengangkat kepala-kepala suku menjadi
menteri kerajaan (Riwut, 1993: 55). Ini dibuktikan dengan disebutnya
daerah Kotawaringin dalam pupuh XIII buku nagara kertagama karya Mpu
Prapanca. Nama Kotawaringin berasal dari nama pohon beringin yang banyak
tumbuh di daerah ini, dengan akarnya yang panjang dan dedaunan yang
lebat (Yusuf dan Kassu, 1989: 48). Soal nama ini di pertegas oleh
peninggalan-peninggalan yang ditemukan, misalnya sepasang meriam di
dekat istana kraton kerajaan Kotawaringin di Pangkalan Bun, nama
kerajaan ini adalah Kota Ringin. Untuk memudahkan analisa sejarah kami
tetap menggunakan nama Kotawaringin seperti nama kabupaten yang
sekarang.
Tentang tahun berdirinya kerajaan Kotawaringin
terdapat dua pendapat yang berbeda. Pendapat pertama mengatakan bahwa
kerajaan ini baru dibangun oleh Pangeran adipati Anta Kesuma, putra raja
Banjar Sultan Musta’inubillah (1650-1678), yang pergi kearah Barat 1679
(Nahan (c), mengutip Saifudin Zuhri: 401 dan Riwut 1993: 55). Kerajaan
Islam Kotawaringin ini meliputi Sampit, Mendawai, dan Pembuang. Daerah
lain di sekitarnya masih dibawah pimpinan kepala-kepala suku Dayak
(Riwut, 1993: 55).5) Pendapat ini banyak didasari oleh tulisan Sanusi
dan Lontaan yang tidak mencantumkan angka tahun pemerintahan raja-raja
Kotawaringin dengan jelas (Lontaan dan Sanusi 1976). Sedang buku yang
lebih baru Memori Hari Pahlawan ke 43 10 November 1988 di Pangkalan Bun
angka tahunnya bercampur antara tahun masehi dan tahun Hijriah, dan
keduanya tidak sesuai. Misalnya saja masa pemerintahan Sultan I
disebutkan 1680 – 1687 M. Sedang sultan II disebut 920 – 941 H, bukankah
920 H itu adalah tahun 1499 M? Jadi sebelum Sultan I (Yusuf dan Kassu,
1989). Pendapat kedua, yang bersumber dari catatan yang ada di astana
Alnursari di Kotawaringin Lama, mengatakan bahwa kerajaan ini di bangun
tahun 1615.
Terlepas dari perbedaan angka tahun ini, di tengah
masyarakat ada cerita legenda akan nama-nama tempat di Kalimantan Tengah
sebagai penamaan yang berasal dari pangeran Adipati Anta kesuma.
Misalnya:nama Sampit, muncul karena pada waktu sang Pangeran menelusuri
sungai mentaya tiba-tiba menemui tempat yang sempit sehingga diberi nama
Sampit. Karena tempat yang sempit ini membuat perasaan tidak enak
(disebut Sanusi sebagai perasaan mereka menjadi sempit), rombongan
pangeran ini berbalik ke laut lagi. Setelah menelurusi pantai mereka
menemukan lagi sebuah perkampungan di muara sebuah sungai yang membentuk
teluk. Pangeran dan rombongan ingin bergabung dengan penduduk
perkampungan ini. Sayang mereka ditolak dan meneruskan perjalanan dengan
perahu ke hulu dengan menelusuri sungai Seruyan. Karena merasa di tolak
atau dibuang itulah tempat ini diberi nama pembuang (Sanusi dan Lontaan
197: 13).
Setelah sampai di desa Rantau Pulut, keadaan sungai
menjadi semakin sempit dan dangkal sehingga tidak mungkin di lewati
perahu. Rombongan memutuskan jalan darat. melewati desa Sambi
menyeberangi anak sungai Arut sampai di desa Pandau dan bertemu dengan
suku Dayak Arut yang dipimpin Patih Patinggi Diumpang. Kedua kelompok
kemudian mengadakan permufakatan untuk menjalin hubungan yang baik.
Menurut legenda, dalam permufakatan tadi dilakukan upacara yang meminta
tumbal masing-masing kelompok satu orang untuk di bunuh dan di atas
kuburan dua orang tumbal ini diletakkan sebuah batu peringatan yang
disebut Ratu Petahan. Selanjutnya Pangeran Adipati Antakesuma
menganugerahi pusakanya untuk suku Dayak Arut berupa Serompang
Bakurung, Batung Batulis, Waluh Banjar dan Sangkuh Canggah.Pangeran
Adipati Antakesuma beserta pengikutnva beristirahat beberapa hari,
sesudah itu dengan diantar Patih Patinggi Diumpang mereka menghiliri
sungai Arut. Setelah sampai di pertemuan sungai Arut dan sungai
Lamandau, mereka belok ke kanan dan memudiki sungai Lamandau. Disatu
tempat mereka mendarat dan mendirikan keraton yang dinamai Kutaringin
yang kemudian diucapkan sebagai Kotawaringin.
Keraton kerajaan
Islam Kotawaringin ini terletak di tepi sungai Lamandau ini dibangun
dengan konstruksi kayu semuanya. Karena kondisi tanah yang lembab serta
kayu yang semakin lama semakin lapuk, tidak dapat ditemukan
situs-situsnya. Pangeran Adipati Anta kesuma sebagai Sultan pertama
membangun istana yang diberi nama Dalem Luhur atau Istana Luhur. Di
dalam membangun istana dan kerajaan Kotawaringin ini sultan dibantu oleh
seorang alim ulama yang bernama Kyai Gede. Kyai Gede adalah seorang
Muslim yang menurut ceritanya, berbarengan dengan pembangunan
Kotawaringin terjadilah satu kehebohan di hulu sungai Lamandau dengan
diketemukannya sesosok tubuh hanyut sekarat terikat pada sebatang
pisang. Tubuh tadi ditemukan oleh para wanita yang menimba air dinihari.
Mereka memberitahukan kepada kepala sukunya, suku Dayak Lamandau.
Kepala suku dengan pahlawan pahlawan perangnya segera menuju tempat
dimana sesosok tubuh hanyut sekarat itu. Tatkala diteliti untuk
diketahui identitasnya, tubuh yang sekarat tadi kelihatan menyeramkan
dan nenakutkan. Sekali menengoknya, seram menakutkan rupanya. Ham¬pir
saja kepala suku melayangkan mandaunya keleher orang hanyut itu.
Untunglah ia masih sempat mengeluh minta tolong, mohon diselamatkan,
walaupun dalam suasana yang hampir mati. Kepala suku tidak jadi membunuh
malah bersama rakyatnya mengusung orang tadi ke rumah. Setelah dirawat
dan orang tadi siuman kepala suku memberinya seorang pembantu. Sejak
saat itulah terjadi persahatan antara kepala suku dan orang yang baru
ditemukan tadi yang ternyata Kyai dari Jawa. Kiai ini memanggil suku
Dayak Lamandau mamak dan Daya Lamandau menjulukinya naga/niaga. Ia
diberi ruang bergerak yang bebas dalam kam¬pung suku Dayak. Karena ia
seorang beragama Islam, mengerti tata tertib dan sopan santun, maka ia
menjadi perhatian suku Dayak. Rakyat sangat tertarik dengan tutur kata
yang menyegarkan rasa. Karena kepribadiannya yang baik itulah rakyat
menamainya Kyai Gede (Lontaan dan sanusi, 1976: 17).
Kerajaan
Kotawaringin berdiri lebih dari tiga abad dengan mengalami satu kali
perpindahan dari Kotawaringin Lama ke Sukabumi yang kemudian di namai
Pangkalan Bu’un. Pangeran Adipati Antakesuma bin Sultan Mustainubillah,
adalah sultan Kotawaringin ke I dengan gelar Ratu Bagawan Kotawaringin.
Memerintah dari tahun 1615 - 1630 M dengan Mangkubumi Kyai Gede. Pada
hari tuanya Sultan pulang ke Bandarmasih (sekarang Banjarmasin, ibukota
propinsi Kalimantan Selatan). Beliau wafat disana dan dimakamkan di desa
Kuin Utara. Perihal wafatnya pangeran Adipati Antakesuma ini tidak ada
catatan yang pasti. Selain wafat karena usia yang tua seperti dituturkan
diatas, ada pendapat bahwa sebenarnya sang Pangeran pergi ke
Banjarmasin atas panggilan Kakaknya sang sultan Banjar untuk membantu
peprangan melawan kerajaan Pasir. Pangeran Adipati Antakesuma gugur di
dalam peperangan ini (Nahan AF (c) ).
Di masa pemerintahan
sultan pertama inilah disusun undang-undang kerajaan Kotawaringin yakni
Kitab Kanun Kuntara. Selain membangun Istana Luhur sebagai keraton
kerajaan Kotawaringin, Sang pangeran juga membangun Perpatih (rumah
patih) Gadong Bundar Nurhayati dan Perdipati (panglima perang) Gadong
Asam. Selain itu untuk keperluan perang dibangun pula Pa'agungan,
sebagai tempat menyimpan senjata atau pusaka, membangun surau untuk
keperluan ibadat, dan membangun sebuah paseban sebagai tempat para
bawahan dan rakyat menghadap sultan. Setelah wafat Pangeran Adipati Anta
kesuma digantikan oleh putranya Pangeran Mas Dipati sebagai sultan
Kotawaringin ke II dengan mangkubumi Kyai Gede dan kemudian diganti oleh
dipati Ganding. Memerintah dari tahun 1630 - 1655 M. Pada saat wafat
sultan kedua ini dimakamkan di Kotawaringin.
Sebagai pengganti,
diangkatlah Pangeran Panembahan Anum bin Fangeran Mas Dipati, sebagai
raja Kotawaringin ke III dengan mangkubumi Dipati Ganding. Memerintah
dari tahun 1655 - 1682 M, berputera dua orang laki-laki dan wafat serta
dimakamkan di Kotawaringin
Dengan wafatnya pangeran Panembahan
Anum, diangkatlah putranya Pangeran Prabu sebagai sultan Kotawaringin ke
1V dengan mangkubumi Pangeran Dira. Pangeran Prabu memerintah dari
tahun 1682 sampai dengan tahun 1699 M, berputera tiga orang dan wafat
serta dimakamkan di Kotawaringin.
Pangeran Dipati Tuha bin
Pangeran Prabu, diangkat sebagai raja Kotawaringin ke V dengan
Mangkubumi pangeran Cakra. Sultan ke lima ini memerintah dari tahun 1699
sampai dengan tahun 1711 M, berputera tiga orang. Seperti para
pendahulunya, setelah wafat sultan dikuburkan di Kotawaringin.
Sebagai
pengganti sultan ke V diangkatlah putranya Pangeran Penghulu bin
Pangeran Dipati Tuha sebagai raja Kotawaringin ke VI dengan Mangkubumi
Pangeran Anum. Memerintah dari tahun 1711 - 1727 M, berputera tujuh
orang dan wafat serta dimakamkan di Kotawaringin.
Pangeran Ratu
Bagawan bin Pangeran Penghulu diangkat sebagai raja Kotawaringin ke VII
dengan Mangkuhuai Pangeran Paku Negara. Memerintah dari tahun 1727 -
1761 M, berputera tujuh orang . Setelah wafat dimakamkan di
Kotawaringin. Di masa pemerintahannya dilaksanakan pembangunan mesjid
jami Kotawaringin, karena surau yang dibangun masa Pangeran Adipati
Antakesuma sudah rusak.
Pada pemerintahan Ratu Begawan sultan ke
VII kerajaan Kotawaringin mengalami jaman keemasan. Pada masa ini
pertanian dan hasil bumi melimpah ruah dan di ekspor keluar daerah.
Perdagangan hasil-hasil kerajinan produksi Kotawaringin menjadi terkenal
dan sangat laku di pasaran regional. Karena kemajuan ekonomi ini
rupanya juga memacu perkawinan antar suku dan banyak pendatang baru yang
menetap di Kotawaringin (Yusuf dan Kassu, 1989: 49-50). Sistem
organisasi pemerintahanpun telah maju dengan membagi tugas kepada para
menteri berdasarkan wilayahnya. Dalam pembagian ini setiap kota
dikepalai oleh seorang menteri seperti misalnya menteri Kumai, menteri
Pangkalan Bu’un, menteri Jelai, dan seterusnya.
Ironisnya, pada
jaman keemasan itu, juga terjadi peristiwa yang menyedihkan yakni
diserahkannya kerajaan Kotawaringin kepada pihak belanda oleh kerajaan
Banjar. Pada saat itulah pertanggung jawaban pemerintahan harus
dilakukan kepada kontrolir Belanda di Sampit. Walaupun demikian Belanda
tetap tidak mengangkat seorang kontrolir langsung di Kotawaringin.
Pangeran
Ratu begawan yang wafat tahun 1761, digantikan oleh putranya Pangeran
Ratu Anum Kesumayuda (Gusti Musaddam bin Pangeran Ratu Bagawan) sebagai
raja Kotawaringin ke VIII dengan Mangkubuai Pangeran Tapa Sana.
Memerintah dari tahun 1767 - 1805 M; berputera 16 orang. Setelah wafat
dimakamkan di Kotawaringin. Di masa pemerintahannya dilaksanakan
pembangunan pesantren di danau Gatal Kanan dan danau Gatal Kiri (desa
Rungun sekarang), tempat mendidik putera-puteri kerajaan.
Perlu
dicatat disini sebagai bagian dari kerajaan Banjar, sultan-sultan
Kotawaringin selalu memakai gelar pangeran. Ini menunjukkan kesantunan
terhadap kerajaan Banjar yang lebih tua yang mana gelar rajanya sultan.
Memang kemudian didalam lingkungan Kotawaringin para pangeran yang
menjadi raja juga disebut dengan Sultan, tetapi itu hanya untuk
lingkungan di Kotawaringin, jika mereka ke Banjar, mereka disebut dengan
gelar Pangeran.
Sebagai satu kompleks kerajaan di tempat ini
terdapat beberapa bangunan antara lain Astana Alnursari, Mesjid Jami
Kotawaringin, pekuburan keluarga raja. Di jaman orde Baru mesjid ini
dipugar Ditjen Kebudayaan Depdikbud. Selain dalam restorasi ini
mengembalikan beberapa bagian ke dalam bentuknya yang semula, juga
penambahan baru seperti penggantian pucak mesjid yang semula berbentuk
kubah, penyatuan mihrab dalam satu atap, pembuatan tempat wudhu yang
terpisah serta pembuatan turap tebing pencegah erosi (Nahan, 1995: 60).
Peninggalan
istana yang masih utuh adalah Astana Alnursari sebagai satu peninggalan
kerajaan Kotawaringin, sekarang dilindungi oleh pemerintah. Keadaan
bangunannya juga masih bagus. Banyak orang yang mengira bahwa istana ini
merupakan bekas tempat tinggal raja-raja Kotawaringin, tetapi
sebenarnya istana ini dibangun setelah kerajaan Kotawaringin dipindah ke
Pangkalan Bun.
Kerajaan Kotawaringin yang di bangun di awal
abad ke 17 telah memacu pertumbuhan permukiman lain di sepanjang sungai
yang berdekatan. Kenyataan bahwa sudah ada para pemukim di pembuang
menunjukkan bahwa kerajaan Kotawaringin bukanlah permukiman pertama di
daerah Kotawaringin Barat. Kemungkinan permukiman awal telah muncul di
berbagai kota seperti Pangkalan Bun – yang sebelumnya bernama Sukabumi),
Kumai, Sukamara sebagai satu ekonomi domain permukiman embryo. Sedang
di Kotawaringin Lama barangkali juga sudah ada beberapa pemukim sebelum
keraton Kotawaringin di bangun. Ini menunjukkan bahwa Di Kabupaten
Kotawaringin Barat permukiman dipacu oleh pertumbuhan satu domain
ekonomi dan bukannya domain politik yang membentuk kota-kota agraris
seperti di Jawa. Permukiman ini memakai sungai sebagai alat transportasi
dan elemen primer kota. Perkembangan permukiman di tepi sungai ini
masih terlihat sekarang di kota-kota yang penduduknya semakin padat.
Kepadatan tadi selalu berada di pinggir sungai dan sangat sulit untuk di
pindahkan ke darat.